Status sosial, apakah bisa dijadikan jaminan seseorang pantas diakui keberadaannya.
Saya lantas rancu mengindikasikan sebenarnya apa status sosial saya?
Saya adalah manusia era megapolitan dimana fenomena yang dikenal adalah jalan tol, sayuran organik, terapi ozon, facial butiran logam mulia, blackberry, ipod, XXI, mobil hybrid, touch-screen ATM, jimmy choo, america's next top model, facebook, gossip girls, sampai ke hal-hal aneh seperti "ya iyalah...masa ya iya dong?!".
Kerap terlintas di benak, krisis apa yang sudah melanda batin. Sederet daftar yang hukumnya sunah untuk dipenuhi namun terkadang tekanannya terasa "wajib".
Sampai kapan krisis "kemanakah status sosialku pergi?" akan berakhir?
Rupiah menggila di titik 13000, angka sial begitu 13 dipanggil.
Bahkan sebentuk "angka" pun bisa didikriminasikan, lagi-lagi status sosial diajukan.
Sungguh malang, status sosial angka 13 adalah: "pembawa SIAL".
Saya sering menyatakan diri bahwa saya kaum yang tidak peduli status sosial.
Namun pengalaman hari ini cukup menyetil.
Siang tadi saya berangkat menuju semarang menggunakan maskapai sejuta umat, GIA.
Tiket ekonomi saya tiba-tiba secara istimewa dipindahkan oleh pihak GIA menjadi kelas bisnis. Gamblangnya, saya menikmati layanan ala ekspatriat secara cuma-cuma (sampai sekarang saya belum tahu apa alasannya mengapa saya dipindahkan).
Besar kepala mulai merambah sekujur otak saya...
Rasanya "self-esteem" mulai berdegup-degup di dada saya.
Ketika menempatkan bokong saya di kursi lebar dan empuk khas eksekutif, lalu bukannya berusaha menikmati dengan duduk senyaman mungkin, malah saya duduk tegang dengan posisi punggung lurus dan kaki disilang semacam socialite.
Demi Tuhan, itu adalah posisi terpaling tidak nyaman apabila kalian berada di penerbangan 55menit dengan ketinggian diatas puluhan-ribu kaki.
Agar awak pesawat yakin bahwa saya memang penumpang kelas bisnis.
Mengunyah hidangan pun semacam dibuat-buat oleh saya, persis seperti puteri kerajaan.
Semua semata-mata karena saya tidak ingin merusak citra eksklusif, agar mata sekitar yang memandang tidak bakal menatap curiga "masa sih dia naik bisnis?".
Padahal, nyatanya tidak ada yang perduli, hahaha...
Bukan kali pertama saya menikmati kelas bisnis, tapi mungkin memang karena merasa tidak membayar untuk tiket bisnis, kali ini saya dilanda krisis percaya diri dan mulai mempertanyakan "STATUS SOSIAL".
Turun dari pesawat tersebut, rasanya seperti siswa bodoh yang tidak naik kelas.
Merasa dipermainkan oleh keadaan..
Ternyata hanya 55menit saja saya merasa istimewa, menginjak daratan saya kembali jadi rakyat jelata.
Karena bagasi saya bukan di kabin bisnis, bagasi saya masih numpuk mengantri beradu dengan kumpulan bagasi rakyat jelata yang lain.
Hahaha...
2 comments:
hauhauahauahaua...
LoL
auhauahauahauhauauha,...
cuma bisa ngakak
haiahiahaihaihaiha
Ooo.....Apakah semua angka 13 itu selalu sial?Bukankah Tuhan menciptakan tanggal 1 sampai dengan 31 selalu baik?IItu hanya berpikiran kita manusia bahwa angka ini selalu sial..
Untuk masalah Passanger kita harus merasa bersyukur ya...Apapun itu pasti ada sebabnya..Mungkin (maaf) Kebaikan sebagai artis...Tapi kita patut bersedih bahwa masih ada masyarakat yang belum bisa merasakan empuknya dan service yang memuaskan dari pramugari...Bahkan untuk mencari sesuap nasi saja merka harus mengemis , sebagai pemulung sampa..bahkan ada yang tidur bersama kambing..Kita harus bersyukur kepada Tuhan ya bahwa kita diberi rejeki yang cukup.Kadang-kadang kita melupakan itu...
Thanks
Post a Comment